Saturday 20 September 2008

Sumbangan Islam dalam Astronomi

Oleh MB. FIRDAUS

PADA tahun 1985, diluncurkan pesawat ulang-alik Discovery, yang membawa antariksawan Arab pertama Pangeran Sultan Salman Abdulaziz A-Saud dari Saudi Arabia, sebagai payload specialist untuk meluncurkan satelit komunikasi dunia Arab, mengambil foto Semenanjung Arab, dan membuat observasi Bulan secara teliti.

Bagi para ilmuwan Islam Abad Keemasan--yang meletakkan landasan bagi eksplorasi antariksa saat ini--satelit tersebut mungkin saja membuat mereka takjub, akan tetapi tugas-tugas yang dilakukan Sang Pangeran secara keseluruhan tidaklah asing. Mereka juga berpengetahuan luas mengenai ilmu optik, astronomi dan juga pakar dalam menentukan posisi benda-benda langit.

Namun dari sekian banyak observasi, penemuan dan kajian--terutama dalam ilmu astronomi--para ilmuwan Islam Abad Pertengahan tidak pernah melupakan tujuan utama dari apa yang mereka dapatkan selain sebagai sarana beribadah dan mempertebal iman kepada Sang Penguasa Alam Semesta, Allah SWT.

Observasi Bulan, contohnya, dari dulu hingga kini penting bagi kaum Muslimin, terutama untuk keperluan keagamaan seperti menentukan bulan baru dalam menandai awal dan akhir ibadah puasa di bulan Ramadan dan menentukan tanggal pergi haji--dua dari rukun Islam yang wajib dikerjakan oleh seluruh Muslim.

Penentuan langit juga muncul dari keperluan religius untuk menentukan koordinat kota-kota dengan akurat sehingga kaum Muslimin dapat menentukan arah kiblat (Mekkah), arah seluruh Muslim menghadap ketika melakukan salat lima waktu.

Penentuan kiblat secara matematis, contohnya, merupakan satu dari masalah-masalah dalam astronomi sferik (bola) yang dihadapi para astronom dan ahli matematika Abad Pertengahan. Penyelesaian trigonometri akhirnya ditemukan, ini merupakan prestasi yang cukup tinggi. Seyogianya kaum Muslimin berterimakasih pada upaya seorang Al-Khalili dari Syria yang pada abad ke-14 berhasil menentukan koordinat sejumlah besar kota dalam derajat dan menit secara akurat.

Trigonometri sendiri, terutama yang dikembangkan orang-orang Arab, merupakan fundamen untuk penghitungan orbit-orbit planet selain pemetaan Bumi. Sehingga tidak aneh bila tabel-tabel arah kiblat di Abad Pertengahan sering mencapai akurasi yang tinggi. Terbukti, observasi yang teliti dan kemampuan menemukan solusi secara matematis merupakan dua kekuatan utama bagi iilmuwan Muslim di Abad Pertengahan.

Tak dapat disangkal, para ilmuwan Muslimlah yang pertama kali mengungkapkan keraguan mengenai sistem Ptolemeus (teori yang mengatakan Bumi merupakan pusat alam semesta) melalui realitas observasi yang memuncak dalam penemuan-penemuan Nicolaus Copernicus, Tycho Brahe dan Johannes Kepler selama abad ke-15 hingga 17. Dan keragu-raguan tersebut telah ditransfer kepada para ilmuwan Eropa dari Spanyol lewat terjemahan-terjemahan di abad ke-12 dan 13.

Salah satunya adalah Al-Battani, yang oleh para penterjemah Eropa disebut Albagtegni[us], pada abad ke-9 ia menulis sejumlah besar topik sains dan beberapa hasil observasinya yang menentang dogma-dogma Ptolemik yang kala itu sangatlah dipuja-puja. Seperti topik mengenai terjadinya gerhana cincin (annular eclipse), bahasan mengenai titik terjauh tata surya (solar apogee), dan juga mengoreksi jumlah orbit planet, menentukan kebenaran dan arti orbit matahari, yang kesemuanya bertentangan dengan pendapat Ptolemeus.

Para astronom Muslim lainnya yang juga bertentangan dengan Ptolemeus, adalah fisikawan Muslim terbesar: Ibnu Al-Haytham, yang dalam literatur barat disebut Alhazen. Al-Haytham berpendapat, galaksi Bimasakti jaraknya cukup jauh dari bumi, ini sekaligus menentang pendapat Aristoteles. Ibnu Haytham juga dapat memperkirakan tinggi atmosfer bumi sebesar 52.000 langkah (satu langkah kira-kira 1 meter).*

Foto: flickr.com/Iqbal



No comments:

Post a Comment