ADA sekitar tiga puluh perajin wajit di seluruh Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung, namun yang benar-benar menyandang nama "Wajit Asli" hanya ada dua perajin dengan merek dagang "Hj. Siti Romlah" dan "Pusaka".
Paling tidak itulah yang dikatakan Ikin (30), generasi keempat dari perajin wajit cililin Hj. Erum, yang nota bene adik dari perintis wajit cililin, Hj. Siti Romlah, ketika ditemui "MB" di jongkonya pinggiran Jl. Raya Pasar Cililin.
Lalu apa yang membedakan antara "wajit asli cililin" dengan wajit yang lainnya yang tersebar dari Desa Cililin hinga ke Desa Mekar Mukti dan Cihampelas? Menurut penuturan Maemunah (60), anak kandung Hj. Erum, keaslian wajit cililin terletak pada bahan baku dan takarannya.
"Salahsatu penentu keaslian cita rasa wajit cililin terutama pada bahan baku gula merah," jelasnya. Sebenarnya ada dua jenis gula merah yang selama ini digunakan para perajin wajit, yaitu gula aren (gula kawung—Sunda) dan gula kelapa.
Menurut wanita pemilik merek dagang wajit "Pusaka" ini, wajit asli cililin sejak zaman Hj. Situ Romlah secara turun temurun tetap menggunakan resep asli terutama gula aren sebagai bahan bakunya di samping bahan-bahan lainnya seperti beras ketan, kelapa, gula putih, vanili, dan mentega. "Selain cita rasanya tetap terjaga, ketahanan wajit pun bisa bertambah sampai maksimal dua minggu. Sementara kalau menggunakan gula kelapa, rasa wajit agak asam," jelasnya.
Seluruh bahan baku untuk terciptanya penganan tradisional khas Cililin ini, menurut Maemunah yang didampingi Ikin, putranya, sudah dipasok dari penampung atau bandar. Untuk gula aren kualitas yang bagus didatangkan secara rutin seminggu sekali dari Kampung Wangun, Rancapanggung yang masih masuk Kec. Cililin serta dari Kec. Gununghalu. Selain itu ada juga yang "diimpor" dari Jawa Tengah, namun kualitasnya tidak sebaik gula aren asal Wangun dan Gununghalu.
Sementara bahan-bahan seperti kelapa juga didatangkan dari Tasikmalaya, Cianjur atau Ciamis. Daun jagung sebagai pembungkus wajit selain juga didatangkan dari luar seperti dari Ponorogo, di daerah sekitar juga ada, terutama dari Kampung Gegerpulus.
Omset wajit ini bisa mencapai 20 kg – 100 kg/minggu. Sekali pembuatan adonan wajit sebanyak 50 kg bisa menelan biaya sekitar Rp 250.000, sedangkan harga jual wajit Rp 6.500/kg.
Proses pembuatan wajit asli cililin maupun wajit lainnya, pada dasarnya tidaklah terlalu berbeda. Seluruh adonan dari bahan-bahan bakunya dimasak dan dikocek pada sebuah tunggu besar, setelah masak lalu dibungkus dengan kulit jagung. Untuk ketahanan yang lebih lama wajit haruslah kering, untuk itu perlu dikeringkan terlebih dahulu dengan memanfaatkan sinar matahari. Tidaklah aneh bila kita lewat jalan raya Desa Cililin sampai Desa Cihampelas banyak niru yang berisi wajit digelar di halaman "ruko".
Untuk pemasaran produk home industri ini, selain dijajakan di pinggir jalan raya tidak jauh dari tempat pembuatannya, wajit cililin juga sudah melanglang, selain Bandung dan sekitarnya, juga ke Karawang, Purwakarta, Cikampek, Jakarta, Palembang, bahkan sampai ke Papua. Sedangkan untuk pasaran luar negeri secara besar-besaran (ekspor), menurut Ikin, belum dilakukan. "Paling-paling untuk paket jemaah haji, wajit cililin pernah dipaketkan ke Arab Saudi," kenangnya.
Selain memproduksi wajit sebagai penganan khas dari Cililin, hampir setiap perajin, tak terkecuali Ikin dan ibunya Maemunah, juga memproduksi penganan lainnya seperti angleng, lamaya dan dodol kacang. "Angleng tak jauh berbeda dengan wajit namun dalam proses beras ketannya dibuat tepung, berbeda dengan wajit yang beras ketannya dibubur dahulu," tutur Maemunah sambil sibuk melayani pembeli yang berdatangan. (Dede Suhaya)***
Dimuat Mitra Bisnis, Minggu III Mei 2002
saya tertarik dengan tulisannya..
ReplyDeleteboleh tau tentang pengemas jagung itu sendiri gak? apakah ada perlakuan khusus yang digunakan...
kok klo ngeliat wajit dipasaran, bungkusnya jarang kapangan...
sedangkan klo saya amati klobot jagung sendiri, klo dibiarkan begitu saja, kulitnya ada ijo2nya, kaya kapangan...
trimakasih sebelumnya.
lisdha_unpad