HATI-HATI bila ingin membangun sebuah penampung air karena badai dan banjir besar bisa kerap muncul. Itulah peringatan para ilmuwan yang telah menganalisis lebih dari 600 bendungan besar di seluruh dunia, karena kebanyakan dari penampung air raksasa tersebut terbukti menimbulkan lebih banyak curah hujan yang ekstrem.
Baru-baru ini, sejumlah studi dengan bantuan model-model komputer memperlihatkan, bendungan benar-benar bisa memicu jatuhnya hujan karena meningkatnya kelembaban atmosfer di sekitarnya. Sebagaimana diketahui cuaca adalah hasil interaksi antara udara hangat dan dingin, dan bendungan sebagai penampung air raksasa bisa mempengaruhi panas dan kelembaban udara di atasnya. Bendungan juga secara radikal bisa mengubah pola-pola irigasi tanah sekitarnya, serta berdampak pada pola-pola iklim.
Faisal Hossain dari Universitas Teknologi Tennessee, Cookeville, Amerika Serikat (AS) beserta koleganya telah mengamati badai-badai besar di dekat 633 bendungan atau waduk terbesar di dunia (sekurangnya ada 45.000 bendungan besar telah dibangun sejak tahun 1930-an).
Mereka menemukan, setelah bendungan dibangun, terjadi peningkatan curah hujan di banyak tempat, pada curah hujan ekstrem pun telah meningkat rata-rata 4 persen per tahun, terutama di kawasan semi-arid (daerah dengan curah hujan tahunan rendah). Juga ada peningkatan dalam frekuensi hari hujan. ”Penemuan ini memang masih tahap permulaan, namun kami melihat ada suatu kecenderungan,” ujar pakar hidrologi ini.
Bendungan-bendungan besar, menurut dia, terbukti memicu banyaknya turun hujan secara ekstrem. Secara umum, bendungan di daerah selatan Afrika, India, Asia Tengah dan Amerika Serikat bagian barat ditemukan memiliki curah hujan ekstrem yang lebih meningkat dibanding daerah lain. Peningkatan curah hujan tentu saja berhubungan langsung dengan kejadian banjir yang tidak biasa. ”Sebagai contoh, apa yang kita anggap sebagai banjir 50 tahunan (banjir besar yang hanya datang setiap 50 tahun atau lebih) sekarang malah menjadi banjir 30 atau 40 tahunan,” ujar Hossain.
Menurut Johannes Feddema dari Universitas Kansas, Lawrence, AS, makalah yang diajukan Hossein ini adalah yang pertama menunjukkan hubungan yang jelas antara bendungan dan hujan deras. ”Meskipun hasil-hasil ini tidak konsisten di seluruh dunia, karena pola-pola cuaca regional dan berbagai faktor lain ikut berperan.” ujarnya.
Hal ini juga diakui Hossain, menurutnya faktor-faktor lain yang bertanggung jawab pada kecenderungan ini pun harus diperhatikan. ”Apakah ini semua bagian dari akibat pemanasan global atau hanya efek lokal dari bendungan?” jelasnya. ”Tentu saja hal ini perlu dilihat dengan lebih cermat.”
Marshall Shepherd, seorang ahli meteorologi riset dari Universitas Georgia, Atlanta, AS yang tidak ambil bagian dalam riset ini, malahan antusias atas analisis Hossain ini. Ia sangat tertarik untuk melihat seberapa besar bendungan bisa mempengaruhi iklim. ”Hasil-hasil ini menarik dan bisa diterima,” ujarnya.
Secara rinci penemuan Faisal Hossain ini dimuat dalam jurnal Eos, sebuah jurnal terbitan asosiasi geofisika AS.
Terus mengancam
Dengan peningkatan ini, kemungkinan bendungan-bendungan besar yang ada sekarang dirancang hanya untuk curah hujan yang lebih sedikit daripada yang diharapkan, hal ini meningkatkan keprihatinan mengenai keamanannya. Tengok bendungan-bendungan besar yang ada di AS, dengan masing-masing menampung sekurangnya 800 juta galon air (3 juta meter kubik), 85 persennya akan berumur lebih dari 50 tahun menjelang tahun 2020, yang menyisakan pertanyaan, apakah bendungan-bendungan ini bisa bertahan terhadap cuaca ekstrem?
”Gagasan awal yang menyebutkan, bendungan-bendungan besar yang dibangun sejak tahun ‘30-an dan ‘40-an diperuntukan melindungi kita dari bahaya banjir, tentu saja perlu dikaji ulang karena ketakutan akan banjir masih terus menghantui dan mengancam kita,” ujar Hossain.
Sepertinya bendungan-bendungan yang ada telah berumur tua, daya tampung airnya pun akan terus berkurang karena akumulasi lumpur dan endapan, yang berarti banjir atau bahkan jebolnya bendungan bisa mengancam kehidupan di sekitarnya.
”Biasanya, dalam 20 atau 30 tahun, daya tampungnya akan hilang sebanyak 30 hingga 40 persen karena endapan,” kata Hossain. ”Dan bila kita ingin mengatasi curah hujan yang mungkin menjadi lebih ekstrem ini, kita benar-benar membutuhkan bendungan yang daya tampungnya lebih banyak,” tambahnya.
Gas rumah kaca
Tak bisa dipungkiri, ada banyak manfaat dengan dibangunnya bendungan, di antaranya menghasilkan energi listrik, mengendalikan banjir, irigasi lahan pertanian, dan untuk tujuan wisata. Namun, sebuah bendungan juga memiliki dampak negatif pada kehidupan manusia, selain yang sudah disebutkan peneliti Faisal Hossain di atas, bendungan besar juga berkontribusi pada pelepasan gas rumah kaca.
Temuan World Commission on Dams memperlihatkan, air bendungan mampu menggenangi kawasan lahan yang cukup luas (termasuk hutan, situs-situs bersejarah, dan bekas hunian), bahan-bahan organik yang terendam di dasar bendungan ini akan menjadi lapuk dan melepaskan gas metana (CH4) dan karbondioksida (CO2) ke atmosfer, sehingga menyebabkan pemanasan global. Para ilmuwan memperkirakan bendungan besar, secara global bertanggung jawab dalam melepaskan sekitar 800 juta metrik ton karbondioksida ke atmosfer.
Para ilmuwan juga sangat mengkhawatirkan pada gas metana yang ternyata memiliki dampak pemanasan lebih dari 20 kali karbondioksida. Metana umumnya dihasilkan oleh bakteri yang memecah bahan organik dalam kondisi anaerob (tanpa oksigen) di dasar waduk. Metana ini dilepaskan ketika pipa-pipa yang terletak jauh di dalam bendungan mengirim air yang kaya metana melalui turbin hidro elektrik. Turbin-turbin ini akan mengaduk-aduk air sehingga gas rumah kaca akan terlepas ke atmosfer.
"Ini seperti membuka sebotol soda. Sebagian besar dari metana terlarut dalam gelembung air akan dilepaskan ke atmosfer," ujar Fernando Ramos, seorang ilmuwan dari Brasil.
Persepsi yang diyakini selama ini bahwa pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sebagai pembangkit listrik yang "green" (tanpa emisi gas rumah kaca) ternyata tidak sepenuhnya benar. Ternyata PLTA juga berkontribusi pada perubahan iklim.
Menurut pakar lingkungan yang juga konsultan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Eric Duchemin, selain memproduksi listrik, PLTA juga memproduksi karbondioksida dan metana dalam jumlah yang besar. Bahkan, dalam beberapa kasus, pembangkit listrik ini bisa memproduksi karbondioksida dan metana dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan pembangkit listrik berbahan bakar fosil (minyak, gas, batubara). (dari berbagai sumber)***
Baru-baru ini, sejumlah studi dengan bantuan model-model komputer memperlihatkan, bendungan benar-benar bisa memicu jatuhnya hujan karena meningkatnya kelembaban atmosfer di sekitarnya. Sebagaimana diketahui cuaca adalah hasil interaksi antara udara hangat dan dingin, dan bendungan sebagai penampung air raksasa bisa mempengaruhi panas dan kelembaban udara di atasnya. Bendungan juga secara radikal bisa mengubah pola-pola irigasi tanah sekitarnya, serta berdampak pada pola-pola iklim.
Faisal Hossain dari Universitas Teknologi Tennessee, Cookeville, Amerika Serikat (AS) beserta koleganya telah mengamati badai-badai besar di dekat 633 bendungan atau waduk terbesar di dunia (sekurangnya ada 45.000 bendungan besar telah dibangun sejak tahun 1930-an).
Mereka menemukan, setelah bendungan dibangun, terjadi peningkatan curah hujan di banyak tempat, pada curah hujan ekstrem pun telah meningkat rata-rata 4 persen per tahun, terutama di kawasan semi-arid (daerah dengan curah hujan tahunan rendah). Juga ada peningkatan dalam frekuensi hari hujan. ”Penemuan ini memang masih tahap permulaan, namun kami melihat ada suatu kecenderungan,” ujar pakar hidrologi ini.
Bendungan-bendungan besar, menurut dia, terbukti memicu banyaknya turun hujan secara ekstrem. Secara umum, bendungan di daerah selatan Afrika, India, Asia Tengah dan Amerika Serikat bagian barat ditemukan memiliki curah hujan ekstrem yang lebih meningkat dibanding daerah lain. Peningkatan curah hujan tentu saja berhubungan langsung dengan kejadian banjir yang tidak biasa. ”Sebagai contoh, apa yang kita anggap sebagai banjir 50 tahunan (banjir besar yang hanya datang setiap 50 tahun atau lebih) sekarang malah menjadi banjir 30 atau 40 tahunan,” ujar Hossain.
Menurut Johannes Feddema dari Universitas Kansas, Lawrence, AS, makalah yang diajukan Hossein ini adalah yang pertama menunjukkan hubungan yang jelas antara bendungan dan hujan deras. ”Meskipun hasil-hasil ini tidak konsisten di seluruh dunia, karena pola-pola cuaca regional dan berbagai faktor lain ikut berperan.” ujarnya.
Hal ini juga diakui Hossain, menurutnya faktor-faktor lain yang bertanggung jawab pada kecenderungan ini pun harus diperhatikan. ”Apakah ini semua bagian dari akibat pemanasan global atau hanya efek lokal dari bendungan?” jelasnya. ”Tentu saja hal ini perlu dilihat dengan lebih cermat.”
Marshall Shepherd, seorang ahli meteorologi riset dari Universitas Georgia, Atlanta, AS yang tidak ambil bagian dalam riset ini, malahan antusias atas analisis Hossain ini. Ia sangat tertarik untuk melihat seberapa besar bendungan bisa mempengaruhi iklim. ”Hasil-hasil ini menarik dan bisa diterima,” ujarnya.
Secara rinci penemuan Faisal Hossain ini dimuat dalam jurnal Eos, sebuah jurnal terbitan asosiasi geofisika AS.
Terus mengancam
Dengan peningkatan ini, kemungkinan bendungan-bendungan besar yang ada sekarang dirancang hanya untuk curah hujan yang lebih sedikit daripada yang diharapkan, hal ini meningkatkan keprihatinan mengenai keamanannya. Tengok bendungan-bendungan besar yang ada di AS, dengan masing-masing menampung sekurangnya 800 juta galon air (3 juta meter kubik), 85 persennya akan berumur lebih dari 50 tahun menjelang tahun 2020, yang menyisakan pertanyaan, apakah bendungan-bendungan ini bisa bertahan terhadap cuaca ekstrem?
”Gagasan awal yang menyebutkan, bendungan-bendungan besar yang dibangun sejak tahun ‘30-an dan ‘40-an diperuntukan melindungi kita dari bahaya banjir, tentu saja perlu dikaji ulang karena ketakutan akan banjir masih terus menghantui dan mengancam kita,” ujar Hossain.
Sepertinya bendungan-bendungan yang ada telah berumur tua, daya tampung airnya pun akan terus berkurang karena akumulasi lumpur dan endapan, yang berarti banjir atau bahkan jebolnya bendungan bisa mengancam kehidupan di sekitarnya.
”Biasanya, dalam 20 atau 30 tahun, daya tampungnya akan hilang sebanyak 30 hingga 40 persen karena endapan,” kata Hossain. ”Dan bila kita ingin mengatasi curah hujan yang mungkin menjadi lebih ekstrem ini, kita benar-benar membutuhkan bendungan yang daya tampungnya lebih banyak,” tambahnya.
Gas rumah kaca
Tak bisa dipungkiri, ada banyak manfaat dengan dibangunnya bendungan, di antaranya menghasilkan energi listrik, mengendalikan banjir, irigasi lahan pertanian, dan untuk tujuan wisata. Namun, sebuah bendungan juga memiliki dampak negatif pada kehidupan manusia, selain yang sudah disebutkan peneliti Faisal Hossain di atas, bendungan besar juga berkontribusi pada pelepasan gas rumah kaca.
Temuan World Commission on Dams memperlihatkan, air bendungan mampu menggenangi kawasan lahan yang cukup luas (termasuk hutan, situs-situs bersejarah, dan bekas hunian), bahan-bahan organik yang terendam di dasar bendungan ini akan menjadi lapuk dan melepaskan gas metana (CH4) dan karbondioksida (CO2) ke atmosfer, sehingga menyebabkan pemanasan global. Para ilmuwan memperkirakan bendungan besar, secara global bertanggung jawab dalam melepaskan sekitar 800 juta metrik ton karbondioksida ke atmosfer.
Para ilmuwan juga sangat mengkhawatirkan pada gas metana yang ternyata memiliki dampak pemanasan lebih dari 20 kali karbondioksida. Metana umumnya dihasilkan oleh bakteri yang memecah bahan organik dalam kondisi anaerob (tanpa oksigen) di dasar waduk. Metana ini dilepaskan ketika pipa-pipa yang terletak jauh di dalam bendungan mengirim air yang kaya metana melalui turbin hidro elektrik. Turbin-turbin ini akan mengaduk-aduk air sehingga gas rumah kaca akan terlepas ke atmosfer.
"Ini seperti membuka sebotol soda. Sebagian besar dari metana terlarut dalam gelembung air akan dilepaskan ke atmosfer," ujar Fernando Ramos, seorang ilmuwan dari Brasil.
Persepsi yang diyakini selama ini bahwa pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sebagai pembangkit listrik yang "green" (tanpa emisi gas rumah kaca) ternyata tidak sepenuhnya benar. Ternyata PLTA juga berkontribusi pada perubahan iklim.
Menurut pakar lingkungan yang juga konsultan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Eric Duchemin, selain memproduksi listrik, PLTA juga memproduksi karbondioksida dan metana dalam jumlah yang besar. Bahkan, dalam beberapa kasus, pembangkit listrik ini bisa memproduksi karbondioksida dan metana dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan pembangkit listrik berbahan bakar fosil (minyak, gas, batubara). (dari berbagai sumber)***
No comments:
Post a Comment