Wednesday, 6 August 2008

Ibnu Haytham, Ilmuwan Pertama di Dunia

SAINS adalah ilmu yang mempelajari dunia fisik, namun sains bukanlah sekadar sebuah topik, subjek, atau bidang yang diminati. Sains merupakan disiplin, suatu sistem penyelidikan yang harus berpegang pada suatu metodologi spesifik yang dinamai metode ilmiah. Dalam bentuk dasarnya, metode ilmiah terdiri atas 7 tahapan; 1) observasi, 2) pernyataan masalah atau pertanyaan, 3) formulasi hipotesis atau jawaban yang mungkin dari masalah atau pertanyaan, 4) menguji hipotesis dengan eksperimen, 5) analisis hasil-hasil eksperimen, 6) interpretasi data dan formulasi dari sebuah kesimpulan, dan 7) publikasi penemuan.

Seseorang bisa saja melakukan studi ilmiah tanpa berpegang pada metode ilmiah, namun tentu saja hasilnya bukanlah sains. Aristoteles, salah seorang pemikir terkemuka di zaman Yunani kuno yang mencoba menjelaskan fenomena alam tanpa menguji gagasannya melalui eksperimen. Aristoteles dan para pemikir sezamannya mendasarkan penemuannya pada logika semata sehingga hasilnya sering meleset ketika diuji dengan metode ilmiah.

Sebagai contoh, pada 1589, Galileo Galilei melakukan eksperimen untuk menguji gagasan Aristoteles mengenai benda jatuh. Ia menemukan bahwa klaim Aristoteles yang menyatakan benda yang lebih berat akan jatuh lebih cepat daripada benda ringan ternyata salah. Galileo bukanlah orang pertama yang melakukan eksperimen atau mengikuti metode ilmiah, para pemikir Eropa lainnya telah melakukan cara tersebut selama tiga ratus tahun, bahkan sejak rahib bernama Roger Bacon mempertahankan cara ini di abad ke-13. Salah satu buku Bacon, Perspectiva (Optics) menantang gagasan Yunani kuno mengenai penglihatan mata, termasuk beberapa eksperimen dengan cahaya.

Namun, Perspectiva Bacon bukanlah hasil kerja orisinal. Buku ini merupakan ringkasan dari De aspectibus (Optics). Perspectiva mengikuti organisasi De aspectibus dan mengulang eksperimennya tahap demi tahap.

De aspectibus merupakan terjemahan Latin dari buku berbahasa Arab berjudul Kitab al-Manazir (Book of Optics) yang ditulis sekitar tahun 1021. Kitab al-Manazir rupanya telah "dijarah" Roger Bacon selama 250 tahun. Penulis aslinya adalah seorang pemikir Muslim bernama Ibnu Haytham, di Barat dikenal sebagai Al-Hazen atau Al-Hacen.

Abu Ali al-Hasan Ibnu al-Hasan Ibnu al-Haytham, lahir di Kota Basrah (sekarang Irak) pada tahun 965 ketika berkuasa Dinasti Buyid dari Persia. Mengenyam pendidikan pertamanya di masjid-masjid Basrah dan Bagdad, di sana ia belajar teologi dan sains. Sebagai Muslim yang taat, ia menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk mengenal dan melayani Sang Khalik. Namun, ia menemukan dalam diri Aristoteles jalinan semangat dan persamaan dalam hal intelektualitasnya.

Abu Ali, demikian nama panggilan masa mudanya, sudah terkenal karena minat dan pengetahuannya pada ilmu fisika, yang membawanya ke Mesir untuk memenuhi tawaran penguasa Kekalifahan Fatimiyah, Al-Hakim, yang berambisi untuk mengatur aliran Sungai Nil dengan membuat bendungan. Ketika Abu Ali mencapai al-Janadil, ia menunjuk sebagai tempat ideal untuk sebuah bendungan. Walaupun ia gagal mewujudkan ambisi sang kalifah, namun sembilan ratus tahun kemudian pemerintah Mesir berhasil membendung Sungai Nil (Bendungan Aswan) persis di lokasi yang ditunjuk al-Haytham.

Selain bekerja di Mesir, Ibnu Haytham juga mengunjungi Andalusia (Spanyol). Di sini ia melakukan riset dalam bidang optik, matematika, fisika, pengobatan, dan mengembangkan metode ilmiah.

Bapak Optik modern ini telah menulis lebih dari 200 buku dengan subjek-subjek yang lebih luas. Dialah orang pertama yang mengaplikasikan ilmu aljabar ke dalam ilmu geometri, dan menemukan cabang matematika yang disebut geometri analitik.

Kitab al-Manazir yang ditulis antara tahun 1011 dan 1021, tak pelak lagi merupakan hasil karya yang sangat penting dan fenomenal. Di dalamnya, sang pemikir karismatik itu mengoreksi kesalahpahaman mengenai teori penglihatan dan cahaya, yang kadung dipercaya para pemikir selama berabad-abad.

Orang Yunani kuno percaya manusia mampu melihat karena mata mengeluarkan cahaya untuk mengindera objek-objek. Ibnu Haytham mengoreksinya, justru kebalikannya yang benar. Proses melihat terjadi ketika cahaya memasuki mata dan merangsang saraf optik. Inilah pertama kalinya dalam sejarah ada orang yang mampu menggambarkan mekanika penglihatan secara akurat.

Ibnu Haytham tak berhenti sampai di sini. Bangunan hasil kerja para pemikir awal seperti Aristoteles, Euclid, Ptolemeus, Theon dari Iskandariah, bahkan pakar sekelas Al-Kindi (Ya'qub Ibnu Ishaq as-Sabah al-Kindi) pun direvisi. Sebagai gantinya, ia menciptakan penyatuan berbagai teori cahaya. Hukum perambatan, pemantulan, dan pembiasan cahaya diperbaikinya. Kitab al-Manazir atau Book of Optics tetap menjadi sumber terkemuka pengetahuan tentang optik untuk 500 tahun kemudian. Terjemahan buku ini telah memengaruhi para ilmuwan dan matematikawan Eropa abad pertengahan mulai dari Bacon, Fermat, Da Vinci, hingga Kepler.

Dari sekian banyak penemuan, metode ilmiah adalah temuan yang paling berharga bagi kemajuan sains dan teknologi. Dengan menerapkan eksperimen dalam menguji suatu hipotesis, al-Haytham telah memapankan suatu sistem baru dalam penyelidikan ilmiah dan menempatkan dia dalam sejarah sebagai ilmuwan pertama di dunia.

Klaim ini tidaklah berlebihan, hal ini diperkuat oleh Bradley Steffens, seorang penulis nonfiksi yang banyak memperoleh penghargaan. Bradley memaparkan sepak terjang sang brilian dalam buku berjudul Ibn al-Haytam: First Scientist, sebuah biografi pertama di dunia mengenai filsuf-ilmuwan Muslim abad pertengahan ini.

Metode ilmiah atau eksperimen yang dipraktikkan Ibnu Haytham tidak lepas dari sikap skeptis dan keimanannya sebagai Muslim. Ia percaya bahwa manusia itu gudangnya kesalahan dan hanya Allah yang sempurna. Untuk menemukan kebenaran tentang alam, menurut dia, salah satunya harus membiarkan alam semesta berbicara sendiri. "Pencari kebenaran bukanlah seorang yang mempelajari tulisan-tulisan kuno dan mengikutinya," kata Ibnu Haytham seperti ia tulis dalam Doubts Concerning Ptolemy (Keraguan Mengenai Ptolemeus), namun orang yang mencurigai kepercayaannya pada mereka, serta orang yang tunduk pada argumen dan demonstrasi.

Untuk menguji hipotesis bahwa cahaya dan warna tidak bercampur di udara, sebagai contoh, Ibnu Haytham merancang kamera obscura pertama di dunia, meneliti apa yang terjadi bila cahaya saling memotong pada celah kamera tersebut dan mencatat hasilnya. Ini satu dari lusinan "demonstrasi kebenaran" yang terdapat dalam Kitab al-Manazir.

Kepakaran Ibnu Haytham juga melebar di luar sains, ia pernah ditunjuk sebagai menteri keuangan dan administratur penerimaan negara, sejarawan lain percaya dia juga menjadi insinyur sipil dalam projek-projek pekerjaan publik. Namun di bidang-bidang ini, dia tidak pernah merasa puas, dalam buku Bredley dikatakan, Ibnu Haytham berpura-pura gila untuk bisa lepas dari tugas dan jabatan di pemerintahan agar bisa kembali menekuni riset-riset ilmiah yang dicintainya. Hatinya telah terpaut pada matematika, optika, fisika, geometri, dan astronomi. (Dede Suhaya)***

1 comment:

  1. maaf untuk komentar di luar topik, tapi bila masih di bandung, saya sering kumpul2 di BTC, seperti nanti malam jam 7, menggalang blogger2 bandung agar bisa saling berkomunikasi lewat jalur offline.

    ReplyDelete