OLEH DEDE SUHAYA
1. Berkata Benar dan Jujur
"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu bertakwa kepada Allah dan mengucapkan kata-kata yang benar. Dengan demikian perbuatanmu akan menjadi baik dan dosamu akan diampuni oleh Allah". (Al Ahzab: 71)
Sifat benar dan jujur menjadi sumber keutamaan yang merupakan penentu stabilnya suatu umat, tanpa kejujuran dan kebenaran, keutuhan masyarakat tak dapat dipertahankan lagi, baik masyarakat terkecil yaitu suatu keluarga hingga masyarakat besar yang kompleks. Sebaliknya dengan kejujuran semua problem akan dapat terpecahkan, kehidupan masyarakat pun menjadi tertib dan teratur.
Di mana pun dan dalam keadaan bagaimanapun sifat jujur mesti dimiliki oleh setiap orang, karena pangkal segala keutamaan adalah kejujuran.
Sebagaimana sabda Nabi:
"Hendaklah mengikhtiarkan diri dalam kejujuran karena kejujuran itu menuntun kepada kebaikan, sedang kebaikan itu menuntun kepada surga. Selalulah seseorang itu berlaku jujur dan mengusahakan kejujuran hingga akhirnya ia diakui oleh Allah sebagai seorang yang jujur. Dan hindarkanlah dirimu dari kedustaan, karena dusta itu membawa kepada neraka. Selalulah seorang itu berbuat dusta dan melibatkan diri dalam kedustaan hingga akhirnya ia akan dicap dan ditulis oleh Allah sebagai pendusta." (H.R. Bukhari dan Muslim)
Keuntungan dari sifat jujur dan berkata benar antara lain, kita akan dihormati, disegani serta akan dipercaya oleh orang lain.
Demikian pentingnya sifat benar dan jujur menurut pandangan Islam, hingga haruslah menjadi sifat mukminin, sesuai dengan perintah Allah dalam surat At-Taubah: 119, yang artinya:
"Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu bersama-sama orang yang jujur".
2. Jauh dari Mencela dan Memfitnah
Memfitnah artinya menyebarluaskan hal yang tidak benar dengan maksud untuk menjatuhkan atau mencelakakan orang lain.
Seseorang yang benar dan jujur dan berakhlak baik, tidak akan melakukan perbuatan sekeji itu. Di samping mengandung unsur kebohongan dan jauh dari kejujuran, akibat fitnahan itu bisa meluas, tidak saja menimpa orang yang difitnah, tetapi akan menyeret masyarakat banyak yang kemungkinan besar menimbulkan pertumpahan darah seperti yang terjadi di masa kekhalifahan Usman bin Affan. Diakibatkan oleh fitnahan Abdullah bin Saba, seorang Yahudi, di antara umat Islam terjadi perpecahan dan peperangan. Karena itu Allah memperingatkan dalam firman-Nya, yang artinya:
"Fitnah itu lebih jahat dari pembunuhan." (Al Baqarah: 191)
Sebagai Muslim seharusnya kita menjauhi perbuatan fitnah yang dosanya jelas melebihi dari membunuh manusia.
Dari itu kita harus waspada terhadap orang yang datang kepada kita yang membawa berita tentang keburukan orang lain sebelum kita mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya, bisa jadi itu hanya fitnahan belaka yang akan menimbulkan keributan di antara kita.
Perhatikan firman Allah dalam Al Quran surat Al Qalam ayat 10-11, yang artinya:
"Dan janganlah kamu ikuti orang-orang yang gemar bersumpah lagi hina! Yakni yang suka mencela dan menyebarkan fitnah kian kemari!"
Sifat yang lain yaitu sifat suka mencela orang lain, sifat ini timbul dari sifat takabur (ieu aing), yang menganggap hanya dirinya sendiri yang paling unggul, sedangkan orang lain dianggapnya rendah, tak dapat berbuat apa-apa.
Tingkah yang demikian selalu menyebabkan timbulnya ketegangan dan permusuhan, pada gilirannya orang yang berperangai demikian akan dikucilkan oleh masyarakat sekitarnya.
Sebaiknya bila seseorang melihat perbuatan yang tidak baik atau pekerjaan yang salah, kita lebih terpuji bila menegurnya secara baik-baik serta bijaksana, jangan menjelek-jelekkan dan menghakiminya di depan orang lain. Nasihati dengan lemah lembut, jelaskan bahwa perbuatan itu menurut agama dan hukum salah yang akan merugikan diri sendiri dan orang lain. Dengan cara demikian ada semacam spirit pada orang yang dikritik itu untuk berusaha memperbaiki kesalahan-kesalahannya. Satu hal, janganlah lupa kita sendiri yang mengkritik harus introspeksi diri sebelum menyalahkan orang lain.
3. Belajar dan Menuntut Ilmu
"Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan di antaramu beberapa tingkat." (Al Mujaadalah: 1)
Arti ayat tersebut menyatakan bahwa kedudukan yang tinggi dan terhormat di sisi Allah dan manusia hanyalah dua kemungkinan, yaitu beriman dan berilmu pengetahuan. Salah satu saja tidak ada di dalam diri seorang Muslim, maka terjadi kepincangan, kita akan tertinggal di tingkatan terrendah.
Tidak berbeda dengan keadaan umat Islam saat ini walaupun mereka kuat sekali imannya mereka tetap akan ketinggalan dalam perlombaan hidup, karena keterbelakangan ilmu dan teknologi. Untuk itu kita harus bersungguh-sungguh dalam belajar dan menuntut ilmu, dunia maupun akhirat.
4. Hidup Sederhana, Hemat dan Teliti
Yang dimaksud sederhana di sini, tidak keterlaluan serta tidak berlebih-lebihan atau bermewah-mewahan, melainkan di tengah-tengah antara kelebihan dan kekurangan artinya sedang-sedang saja. Sabda Nabi:
"Sebaik-baik perkara ialah yang tengah-tengah atau sedang."
Sedangkan yang dimaksud dengan hemat ialah membelanjakan harta kekayaan dengan sederhana dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hemat bukan berarti kikir, yaitu suatu sifat yang tidak manusiawi, melainkan tidak mengeluarkan hartanya untuk hal-hal yang tidak perlu dan tidak ada manfaatnya, selalu teliti dan memperhitungkan pengeluaran biayanya.
Firman Allah yang artinya:
"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan harta mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir, akan tetapi di tengah-tengah antara yang demikian." (QS. Al Furqan: 67)
Kecermatan dalam memperhitungkan pengeluaran diperlukan sekali bagi setiap Muslim, agar dapat memperkirakan kebutuhan mana yang mendesak yang harus diprioritaskan dan yang lebih bermanfaat, mana yang perlu didahulukan dan mana yang bisa ditinggalkan.
Ketelitian dan kecermatan dipentingkan sekali dalam kehidupan sehari-hari. Pekerjaan yang dilakukan dengan teliti dan cermat akan menghasilkan hasil pekerjaan yang memuaskan dengan kemungkinan kesalahan lebih kecil, bukan pekerjaan yang ceroboh dan tergesa-gesa yang akan menuai kekecewaan.
Inilah ciri pribadi muslim yang harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari dalam hal makan minum, belanja, bekerja dan lain-lain. Sebab sifat-sifat demikian besar sekali artinya bagi pembinaan seorang Muslim sejati.
5. Toleransi tidak Picik
Toleransi artinya lapang dada, berpikir luas tidak berpandangn sempit, meskipun ia yakin sekali bahwa pendiriannya benar serta pendapat orang lain salah, ia tidak ingin memaksakan pendapat dari pendiriannya pada orang lain dan tak hendak menghina dan mencela mereka, ia menghargai pendapat yang berlainan dan bertentangan dengan dirinya.
Toleransi (tasamuh) telah dicontohkan oleh Nabi, beliau tidak mengganggu penganut agama lain apalagi memaksakan kehendak keyakinan kepada mereka, mereka dilindungi dan diperlakukan adil dalam tatanan pemerintahan Islam, selama mereka tidak menyerang atau merugikan umat Islam.
6. Hidup Teratur
Setiap Muslim yang mengamalkan sifat cermat, hati-hati serta sifat teliti dalam kehidupannya akan teratur dan tertib, sebab bila akan melakukan suatu pekerjaan selalu dipikirkan dan direncanakan dengan matang dengan berbagai pertimbangan yang tepat sehingga semua pekerjaan berjalan dengan tertib, lancar dan sistematis. Lebih-lebih dalam peribadatan kepada Allah Swt. haruslah dikerjakan dengan tertib dan teratur agar segala ibadah kita tidak sia-sia di hadapan Allah.
Ketertiban dan keteraturan erat hubungannya dengan cara-cara pembagian waktu. Dalam ibadah salat lima waktu sehari semalam mesti dilaksanakan pada waktu yang tepat dan tertentu. Ini akan berdampak dalam kegiatan kita sehari-hari, waktu tidur harus digunakan untuk tidur, waktu kerja digunakan hanya untuk bekerja, waktu ibadat harus sesuai dan tepat pada waktunya, sebagaimana tersirat dalam firman Allah Q.S. An Naba: 9-11 yang artinya:
"Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat dan Kami jadikan malam sebagai pakaian, dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan."
Ajaran Islam melarang umatnya untuk menghambur-hamburkan dan menyia-nyiakan waktu tanpa diambil manfaatnya. Orang yang menyia-nyiakan waktu sama dengan membuang waktu, sebab umur manusia di dunia ini ada yang mengatur dan membatasinya. Tiap detik bila tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya diri sendirilah yang akan menanggung ruginya. Allah bersumpah dalam firmanNya Q.S. Al Ashr: 1-3:
"Demi waktu! Sesungguhnya manusia itu dalam keadaan rugi. Kecuali orang yang beriman dan beramal saleh. Dan saling berwasiat tentang kesabaran dan kebenaran."
Ayat di atas menegaskan bahwa tidak akan mengalami kerugian orang-orang yang mempergunakan waktu sebaik-baiknya, seperti orang yang beriman dan beramal saleh. Dan yang mempergunakan waktunya untuk saling menasihati tentang kebenaran dan kesabaran. Betapa meruginya manusia yang tidak mempergunakan waktu dengan sebaik-baiknya seperti orang-orang yang mempergunakan waktunya hanya untuk berfoya-foya dan mengumbar hawa nafsu.
7. Memelihara Kebersihan dan Kesehatan
Di samping kesucian batin, dalam ajaran Islam diperintahkan pula untuk memelihara kebersihan lahir. Kebersihan lahir akan mencerminkan kesucian batin seseorang, bahkan untuk mencapai kesucian batin perlu didukung dengan kebersihan lahir. Pentingnya kebersihan ini dalam agama Islam disabdakan Nabi:
"Hendaklah kamu selalu menjaga kebersihan, karena Islam itu mementingkan kebersihan."
"Kebersihan itu adalah sebagian daripada iman."
Berbicara mengenai kebersihan tidak lepas dari masalah kesehatan, dengan hidup bersih seperti menjaga kebersihan badan, pakaian, rumah, makanan, minuman serta segala hal kita akan terhindar dan terjaga dari segala macam penyakit yang mengganggu kesehatan.
Walaupun begitu, kita sekali-kali dapat menderita suatu penyakit yang ditakdirkan Allah. Untuk itu kita tidak perlu berputus asa karena diperintahkan untuk berobat kepada ahlinya, sesuai sabda Nabi:
"Allah tidak akan menurunkan suatu penyakit, melainkan diturunkannya pula akan obatnya, yang diketahui oleh siapa yang mengetahui dan tidak diketahui oleh yang tidak mengetahui." (Masnad)
8. Berani Mengemukakan Pendapat
"Ketahuilah bahwa pembela-pembela agama Allah itu tidaklah mereka merasa gentar, dan tidak pula mereka berhati duka." (Yunus: 62)
Di zaman dahulu keberanian fisik sangat diperlukan dalam mempertahankan hak ataupun keyakinan, akan tetapi sekarang yang lebih diutamakan adalah keberanian dalam hal mengemukakan buah pikiran atau menyampaikan pendapat, yaitu tidak takut menyampaikan kebenaran walaupun akan menuai kecaman dan penderitaan pada diri sendiri.
Dalam Islam, keberanian semacam itu tak asing lagi, karena telah dicontohkan dan dirintis oleh para nabi dan rasul, para syuhada dan para pahlawan kebenaran. Mereka berjuang dan rela menderita serta mengorbankan apapun yang mereka miliki dari harta benda hingga jiwa raga demi tegaknya hak dan kebenaran.
Bagi mereka, keyakinan semacam itu tak bisa dibantah lagi, ambil contoh Nabi Muhammad saw, ketika oleh Abu Thalib, pamannya, atas desakan para pemimpin Qurais diminta agar meninggalkan upaya dakwahnya, beliau menjawab:
"Demi Allah wahai paman, andainya mereka menaruh matahari pada tangan kananku dan bulan pada tangan kiriku, agar aku meninggalkan usaha ini, tiadalah aku akan menghentikannya, hingga aku berhasil atau binasa karenanya!"
Itulah yang dapat penulis kemukakan sebagian dari ciri-ciri pribadi Muslim sejati, namun sebenarnya lebih banyak lagi ciri-ciri itu yang melekat pada diri seorang Muslim, terutama yang dicontohkan Rasulullah saw.***
Catatan penulis:
Artikel ini sudah lama saya cari-cari di berbagai arsip tulisanku, dan akhirnya kutemukan terselip di antara kliping tulisan-tulisanku yang sudah lusuh. Sesuatu yang sangat berharga bagi saya karena kliping yang saya cari-cari itu merupakan tulisan pertamaku yang dimuat di surat kabar, yang berbaik hati memuat tulisanku saat itu adalah Berita Harian Gala (sekarang Galamedia) pada Jum'at, 20 Juli 1984 di Halaman IV.
Masih terlintas dalam benakku saat aku berjalan kaki dari rumahku di Pal III (Jl. Jend. Sudirman) menuju kantor redaksi Berita Harian Gala di Jl. Rajawali Timur, dan menyerahkan lembaran-lembaran tulisanku pada seseorang yang sedang menunggu di dalam sebuah bangunan kecil, kalau sekarang (maaf) mirip jongko atau kios pedagang. Terima kasih Gala!
Postingan di atas merupakan versi yang sudah diedit, maklum kliping korannya sudah banyak sobek di sana-sini lagi pula masih ada kalimat-kalimat yang tidak nyaman dibaca, maklum saat itu saya baru tahap belajar menulis di media massa.
No comments:
Post a Comment