NAMA lengkapnya Abu Arrayhan Muhammad Ibn Ahmad al-Biruni. Tapi dia lebih dikenal dengan sebutan al-Biruni. Namanya tercatat dengan tinta emas dalam sejarah sebagai seorang ilmuwan dan filosof Muslim yang serba bisa. Penguasaannya terhadap pelbagai ilmu pengetahuan dan bidang tersebut menjadikan al-Biruni dijuluki sebagai "ustaz fil ulum" atau guru segala ilmu. Meski sebagian besar ilmuwan Muslim masa lalu memang memiliki kemampuan multidimensi, namun al-Biruni tampaknya lebih menonjol.
Ia tak hanya menguasai bahasa Arab, tapi juga Sanskrit dan Ibrani. Ia memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang filsafat Yunani, menjadikannya seorang sarjana agung yang pernah dilahirkan oleh dunia Islam. Al-Biruni berhasil membuktikan, menyandingkan ilmu dan filsafat telah memungkinkan agama bisa terus hidup subur dan berkembang serta membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh umat.
Al-Biruni telah menghasilkan lebih dari 150 buah buku. Di antara buku-buku itu adalah "Al-Jamahir fi al-Jawahir" yang berbicara mengenai batu-batu permata; "Al-Athar al-Baqiah" berkaitan kesan-kesan lama peninggalan sejarah, dan "Al-Saidalah fi al-Tibb", tentang obat-obatan. Penulisannya tentang sejarah Islam telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul "Chronology of Ancient Nation". Banyak lagi buku tulisan Al-Biruni diterbitkan di Eropa dan tersimpan dengan baiknya di Museum Escorial, Spanyol.
Dia mendirikan pusat kajian astronomi mengenai sistem tata surya. Kajiannya dalam bidang sains, matematika, dan geometri telah menyelesaikan banyak masalah yang tidak dapat diselesaikan sebelumnya. Sumbangan Al-Biruni terhadap kemajuan sains, matematika, dan astronomi yang kini menjadi salah satu simbol peradaban dunia Barat, sungguh-sungguh nyata.
Al-Biruni lahir pada tanggal 15 September 973 di Kath, Khawarazm, daerah yang sekarang lebih dikenal dengan nama Kara-Kalpakskaya, Uzbekistan. Sejak usia muda, Al-Biruni sudah tertarik pada astronomi dan matematika. Ia banyak belajar kepada astronom dan ahli matematika terkemuka kala itu, Abu Nasr Mansur. Pada tahun 990 atau saat usianya baru menginjak 17 tahun, Al-Biruni sudah melakukan pengamatan serius di bidang astronomi, yakni dengan menghitung garis lintang Kath melalui pengamatan ketinggian maksimum Matahari.
Ketika usianya belum genap 22 tahun, Al-Biruni telah menulis sejumlah kertas kerja, meski dalam bentuk pendek. Sayangnya, semua kertas kerja Al-Biruni hilang ditelan sejarah. Salah satu karyanya yang bisa selamat adalah kartografi yang berguna dalam proyeksi pembuatan peta. Seperti halnya mendeskripsikan proyeksinya mengenai belahan Bumi melalui suatu pesawat, Al-Biruni pada usia 22 tahun dengan fasih membaca proyeksi peta yang ditemukan orang lain dan mendiskusikannya dalam risalah.
Tapi sayang, masa-masa ketika Al-Biruni hidup, adalah masa-masa genting Dunia Islam. Situasi politik yang berkembang saat itu juga turut memengaruhi dan menentukan arah kehidupan Al-Biruni. Penguasa Khwarazm adalah Banu Iraq dan secara kebetulan guru Al-Biruni, Abu Nasr Mansur adalah seorang pangeran dari keluarga tersebut. Pada tahun 995 terjadi kudeta politik. Perang saudara pun berkecamuk. Sebagai murid, Al-Biruni tentu saja terkena imbas persoalan politik tersebut. Ia kemudian melarikan diri dari Khwarazm sehingga ia kemudian tidak mengetahui bagaimana nasib sang guru. Minat dan kecenderungannya untuk mempelajari serta meluaskan dimensi ilmu pengetahuannya telah mendorong Al-Biruni merantau sehingga ke negara India. Tetapi semasa berada di India, Al-Biruni telah ditawan oleh Sultan Mahmood al-Ghaznawi. Setelah mengetahui keilmuwan Al-Biruni, sang sultan pun menugaskan Al-Biruni sebagai ulama istana.
Tembok penjara tidak menjadi penghalang kepada Al-Biruni untuk terus menuntut dan menghasilkan karya-karya yang besar dalam pelbagai bidang. Sumbangannya kepada ilmu dan peradaban India amat besar. Sumbangannya yang paling penting ialah dalam penciptaan kaidah penggunaan angka-angka India dan kajiannya mencari ukuran bumi menggunakan perhitungan matematika. Al-Biruni berhasil menyusun satu daftar peta yang berisi kedudukan ibu kota negara di dunia.
Semasa berada dalam tawanan itu, Al-Biruni juga menggunakan seluruh ruang dan peluang yang ada untuk menjalin hubungan antara para ilmuwan sekolah tinggi Baghdad dan para sarjana Islam India yang tinggal dalam istana Mahmud al Ghaznawi.
Sebelum ke India, Al-Biruni sering menjalin hubungan dengan Ibnu Sina. Pada waktu yang bersamaan, Al-Biruni juga membuktikan bahwa golongan ahli filsafat bukan merupakan golongan yang sesat dan hidup di awang-awangan. Peranan dan kedudukan mereka amat besar dalam perkembangan dan kemajuan Islam serta peradaban manusia.
Sesungguhnya kemunculan Al-Biruni sebagai tokoh ilmuwan tersohor telah mengangkat martabat ahli filsafat dari pelbagai stigma dan label negatif, serta mengubah peranan yang sepatutnya dimainkan oleh ahli filsafat itu sendiri.
Al-Biruni meninggal dunia pada tanggal 13 Desember 1048 di Ghazna (kini Ghazni, Afganistan). Meski sudah lama meninggal, nama Al-Biruni tetap harum dikenang zaman.
Sumber: Pikiran Rakyat
tokoh yang luar biasa...
ReplyDelete