Thursday, 26 January 2017

Buta Warna Parsial Bisa Membuat dan Perpanjangan SIM

Judul tulisan di atas merupakan kesimpulan penulis hasil dari googling saat mencari; apakah penderita buta warna parsial diperbolehkan membuat SIM? Sedikit sekali informasi tentang masalah ini, namun saya mendapatkan informasi yang cukup menggembirakan dari blog/forum, dan sebuah situs menyatakan:

"Kepolisian memberikan toleransi bagi pengendara yang mengalami buta warna partial asalkan masih bisa membedakan warna merah, kuning dan hijau." seperti dikutip dari http://jogja.tribunnews.com.


Selain itu penulis juga mengalaminya sendiri, dan tulisan di bawah ini sengaja saya tulis untuk saling berbagi pengalaman yang mungkin bermanfaat bagi teman-teman.

Lima tahun yang lalu saya membuat Surat Izin Mengemudi (SIM) baru untuk sepeda motor (SIM C). Saat cek kesehatan saya harus melalui tes buta warna dengan gambar bulatan-bulatan berwarna (metode Ishihara). Saat itu hanya 1 hingga 3 gambar yang bisa saya deteksi angka-angka yang ada di dalamnya, selebihnya saya tidak tahu. Menurut petugas kesehatan saat itu saya mengidap buta warna sebagian atau parsial. Alhamdulilah si Mbak petugas kesehatan meloloskan saya dengan memberi surat keterangan kesehatan tersebut dengan memberi nasihat agar saya berhati-hati dalam mengemudikan kendaraan.

Setelah lima tahun berlalu saya harus memperpanjang lagi SIM C tersebut. Persyaratan untuk memperpanjang SIM ternyata masih harus melalui tahap tes kesehatan. Sebelum masa berlakunya habis, saya coba-coba untuk memperpanjangnya lewat SIM Keliling, yang kebetulan dari informasi di internet ada yang dekat dengan tempat saya ngantor.

Saat cek kesehatan, saya kembali mengalami kesulitan untuk melewati cek buta warna karena masih parsial, dan petugas SIM Keliling pun tidak memproses perpanjangan SIM saya, dia menyarankan saya untuk langsung perpanjangan di Polrestabes Bandung di Jalan Jawa atau ke Polres Cimahi yang ada di Cibabat.

Tetapi saya belum menuruti saran petugas SIM keliling tersebut, saya ingin menyiasatinya dengan membuat surat kesehatan dari klinik, karena menurut beberapa informasi dari beberapa blog/situs, kita bisa membuat sendiri surat kesehatan dari klinik atau puskesmas untuk mengurangi antrean.

Keesokan harinya saya kembali browsing untuk mencari lokasi SIM keliling pada hari tersebut, eh, ternyata lokasinya masih dekat, tepatnya di ITC Kebon Kalapa Jalan Pungkur. Saat orang lain antre tes kesehatan saya langsung daftar dengan surat kesehatan yang saya bawa sendiri. Namun beberapa lama berselang petugas pemeriksa berkas-berkas memanggil saya untuk tes kesehatan lagi, katanya belum lengkap, dan ketakutan saya terbukti lagi karena saya harus tes  buta warna lagi di situ dan dinyatakan BW parsial, perpanjangan SIM saya tidak diproses, dan seperti sebelumnya si petugas dengan ramah menyarankan saya untuk memprosesnya di Polrestabes Jalan Jawa.

Akhirnya saya pun menyerah untuk memperpanjang SIM di tempat yang disarankan petugas SIM keliling. Setelah gagal dua kali di SIM Keliling (sebetulnya tiga kali, saya pernah mencoba di SIM outlet khusus Kota Bandung di BTC Jalan Pasteur yang tidak online). Timbul kekhawatiran dalam diri saya, kalau tidak lulus tes ini, apakah SIM saya akan dicabut? (walaupun pencabutan SIM harus melalui proses pengadilan).

Lokasi Polrestabes Bandung tidak terlalu jauh dari kantor saya. Bagian pengurusan SIM ada di samping Polrestabes tersebut lengkapnya gedung ini bernama "Satuan Penyelenggara Administrasi SIM" atau Satpas. Setelah tanya sana tanya sini, perpanjangan SIM ternyata harus didahului tes kesehatan yang lokasinya terpisah dari gedung tersebut, berjarak beberapa meter lewat gang-gang sempit. 




Contoh gambar tes buta warna parsial
Kali ini saya bertekad untuk pasrah dan jujur saja. Sambil menyerahkan fotokopi KTP, saya langsung dites mata jarak jauh dengan snellen chart, buru-buru saya mengatakan bahwa saya memakai kacamata, si mbak petugas kemudian melanjutkan ke tes Ishihara yang selalu menjadi momok bagi saya. Namun sebelum dibuka buku tes buta warna tersebut, saya pun buru-buru menjelaskan bahwa saya BW parsial, si mbak tidak melanjutkan tes gambar bulat-bulat berwarna tersebut, tetapi langsung membuka lembar terakhir untuk tes BW parsial berupa deretan segiempat berwarna yang harus saya sebutkan satu persatu apa warnanya. Alhamdulilah tes ini terlalu mudah bagi saya dan akhirnya saya diberi surat kesehatan.

Proses selanjutnya seperti biasanya memperpanjang SIM, dimulai dari daftar, bayar-bayar biaya, mengisi formulir (jangan khawatir petugas di sana ramah-ramah dan bersedia untuk membimbing mengisi form tersebut), pemasukan data, difoto hingga akhirnya menerima SIM baru. Saya mencatat seluruh proses tersebut menghabiskan waktu kurang dari 2 jam. Kiatnya, jangan segan-segan untuk bertanya (istilah Sunda-nya alewoh) kepada petugas bila kita tidak tahu atau bingung harus ke loket mana?


Kesimpulan:

1. SIM Keliling tidak memproses peserta yang memiliki kelainan buta warna parsial;
2. SIM Keliling melayani secara online untuk SIM A dan C seluruh Indonesia
3. Surat keterangan kesehatan dari klinik atau puskesmas ternyata tidak efektif untuk perpanjangan SIM Keliling. Sebaiknya langsung buat di tempat.
4. Surat keterangan kesehatan dari klinik atau puskesmas mungkin bisa diterima di SIM outlet;
5. SIM outlet biasanya hanya untuk melayani kota yang bersangkutan (tidak online);
6. Penderita BW parsial masih bisa membuat SIM baru atau perpanjangan SIM di Polres setempat atau Polrestabes di bagian "Satuan Penyelenggara Administrasi SIM" atau Satpas.

Semoga bermanfaat.

Friday, 6 January 2017

Sejarah Surat Kabar Pikiran Rakyat


Pada Januari 1966, di Kota Bandung terdapat sejumlah wartawan yang kehilangan pekerjaannya akibat koran milik Bandung N.V. bernama Pikiran Rakyat berhenti terbit. Koran yang pertama kali terbit pada 30 Mei 1950 ini harus berhenti karena terlambat memenuhi ketentuan yang mengharuskan setiap koran untuk berafiliasi dengan salah satu kekuatan politik atau memilih bergabung dengan koran yang ditentukan Departemen Penerangan. Atas dorongan Panglima Kodam (Pangdam) Siliwangi Ibrahim Adjie pada waktu itu, para wartawan tadi yang diwakili Sakti Alamsyah dan Atang Ruswita menerbitkan koran Angkatan Bersenjata edisi Jawa Barat yang berafiliasi dengan harian umum Angkatan Bersenjata yang terbit di Jakarta dengan surat izin terbit (SIT) No. 021/SK/DPHM/SIT/1966.

Nomor perdana Surat Kabar Pikiran Rakyat terbit pada 24 Maret 1966 bertepatan dengan peringatan ke-20 peristiwa heroik Bandung Lautan Api. Namun, belum genap setahun koran ini terbit, Menteri Penerangan mencabut kembali peraturannya tentang keharusan berafiliasi. Pangdam Siliwangi pun serta merta melepas sepenuhnya ketergantungan koran ini dengan Kodam. Seiring dengan keputusan ini pulalah, terhitung 24 Maret 1967, harian Angkatan Bersenjata edisi Jawa Barat berganti nama menjadi Harian Umum Pikiran Rakyat, yang juga dikenal dengan singkatan "PR" hingga saat ini.

Enam tahun pertama sejak masa kelahirannya, bisa dikatakan merupakan masa-masa penuh keprihatinan. Kantor maupun peralatan cetak dan tulis bukanlah milik Pikiran Rakyat. Pada masa ini, oplah Pikiran Rakyat pun tak pernah lebih dari 200.000 eksemplar per harinya. Namun berkat kegigihan dan keuletan yang didasari jiwa idealisme para perintis saat itu, Pikiran Rakyat secara pasti terus mendapat tempat di hati pembacanya.

Pada 9 April 1973, bentuk badan hukumnya diubah dari yayasan menjadi perseroan terbatas dengan nama PT. Pikiran Rakyat Bandung. Menyusul perubahan status perusahaan, Pikiran Rakyat pun segera menata diri. Nilai-nilai idealisme dan etika jurnalistiknya dipadukan dengan manajemen bisnis layaknya sebuah perusahaan modern. Pada awal tahun 1974, Pikiran Rakyat mencatat peristiwa penting. Untuk pertama kalinya perusahaan berhasil melengkapi diri dengan percetakan offset yang dibeli dari fasilitas PMDN dan bantuan BRI. Mesin cetak ini mampu mencetak koran sebanyak 25.000 eksemplar per jam. Sejak tahun itu pula, Pikiran Rakyat terus melesat bak meteor mampu menembus dan tinggal landas menuju kepada perwujudan cita-cita yang maju dan berkembang, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

Pikiran Rakyat kemudian dapat merambah ke seluruh pelosok Jawa Barat dan memantapkan diri sebagai 'korannya orang Jawa Barat', sekaligus yang terbesar di provinsi ini. Padahal sebelumnya, dalam kurun waktu 1967-1973, koran-koran berskala nasional terbitan Jakarta yang mendominasi peredaran koran Jawa Barat. Antara tahun 1975-1986 Pikiran Rakyat sempat beredar ke seluruh pelosok Nusantara, jadilah Pikiran Rakyat koran nasional yang terbit di daerah. Pikiran Rakyat sempat beredar sampai ke Kuala Lumpur, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Pada tahun 1986, Pikiran Rakyat kembali menjadi koran regional berbasis Provinsi Jawa Barat, walaupun sebagian tirasnya beredar di luar Jawa Barat seperti DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan beberapa provinsi lainnya.

Pada perkembangan selanjutnya, lembaga ini menjadi identik milik warga Jawa Barat. Dari aspek bisnis pun terjadi pertumbuhan yang signifikan. Dari rahimnya kemudian lahir PT Granesia, perusahaan percetakan dan penerbitan yang tak hanya mencetak Pikiran Rakyat, lalu secara berturut-turut Mitra Bisnis (semula bernama Mitra Desa), tabloid berbahasa Sunda Galura dan surat kabar Mitra Dialog yang berkedudukan di Cirebon. Lalu, pada tahun 1999, sejalan dengan asas otonomi daerah tingkat dua, Pikiran Rakyat pun menangkap peluang yang muncul. Karena itulah kemudian men-take over Harian Umum Galamedia dari PT Surya Persindo Grup sebagai koran Greater Bandung, Pakuan yang terbit di Bogor, Kabar Priangan di Tasikmalaya, dan Fajar Banten di Serang. Perusahaan pun kemudian menangani Radio Parahyangan yang kemudian berganti nama hingga saat ini menjadi PRFM.

Harian Umum Pikiran Rakyat yang diterbitkan oleh PT. Pikiran Rakyat Bandung dengan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) No. 035/SK. MENPEN/SIUPP/A.7/1986 tanggal 11 Februari 1986 dan dicetak PT Granesia Bandung ini, memiliki slogan Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Rakyat.***

sumber: Wikipedia