Thursday, 22 July 2010

Al-Khawarizmi, Penemu Angka Nol

BAGI yang pernah mempelajari program komputer, tentu tak asing lagi dengan istilah algoritma. Algoritma adalah langkah-langkah logis penyelesaian masalah yang disusun secara sistematis dan logis. Para ahli bahasa pernah kesulitan menemukan asal-usul kata "algoritma" tersebut. Namun, akhirnya para ahli sejarah matematika menemukan asal kata tersebut pada sosok penemu konsep itu sendiri, yaitu Al-Khawarizmi yang dilafalkan oleh orang barat menjadi Algorism. Panggilan inilah yang kemudian dipakai untuk menyebut konsep algoritma.

Al-Khawarizmi, selain dikenal sebagai penemu konsep algoritma yang kini banyak digunakan untuk pembuatan diagram alur (flowchart) dalam ilmu komputer, sarjana bangsa Persia ini juga dikenal sebagai astronom, ahli geografi, dan penemu berbagai konsep matematika yang masih digunakan hingga sekarang.

Siapa yang tak kenal dengan istilah sinus, cosinus, tangen, dan cotangen dalam ilmu trigonometri, dialah yang pertama memperkenalkannya lengkap dengan tabelnya. Kemudian, yang tak kalah pentingnya adalah penemuan angka nol (0) yang telah mengubah sejarah keilmuan, angka nol ini baru dikenal dan dipergunakan orang barat sekitar 250 tahun setelah ditemukan Al-Khawarizmi.

Al-Khawarizmi lebih dikenal sebagai salah seorang ilmuwan matematika terbesar yang pernah hidup, dan tulisan-tulisannya sangat berpengaruh pada zamannya. Aljabar adalah buah pikirannya yang sangat fenomenal, istilah aljabar sendiri diambil dari bukunya yang sangat terkenal, Al Jabr Wa Al Muqabalah yang telah diterjemahkan oleh Gerard of Cremona dan Robert of Chester ke dalam bahasa Eropa, dan  terus dipakai sebagai buku pegangan dasar oleh universitas-universitas di Eropa hingga abad ke-16.

Abu Ja’far  Muhammad Ibn Musa Al-Khwarizmi lahir pada 780 Masehi di Khwarizm (sekarang Khiva, Uzbekistan). Ketika ia masih kecil dibawa orang tuanya pindah ke sebuah tempat di selatan Kota Baghdad. Karena kepandaian dan kecerdasannya, dalam usia muda beliau sudah bekerja di bawah pemerintahan  Ma’mun Ar-Rasyid, seorang khalifah Abbasiyah yang terkenal, dan ditempatkan di Bayt al-Hikmah, sebuah lembaga penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan di Baghdad, beliau bekerja dalam sebuah observatorium, tempat belajar matematika dan astronomi.

Karya-karya Al-Khawarizmi di bidang matematika sebenarnya banyak mengacu pada tulisan mengenai aljabar yang disusun oleh Diophantus dari Yunani yang hidup pada 250 SM. Namun Khawarizmi menemukan beberapa kesalahan dan ketidakjelasan pada buku ini, ia kemudian memperbaiki, memperjelas dan mengembangkannya dalam karya-karya aljabarnya. Tidaklah mengherankan bila beliau dijuluki sebagai “Bapak Aljabar” karena dialah orang pertama yang mengajarkan aljabar dalam bentuk elementer serta menerapkannya dalam hal-hal yang berkaitan dengannya.

Hisab Al-Jabr Wa Al-Muqabala (Kalkulasi dengan Melengkapkan dan Menyeimbangkan) dan Al-Jama  Wa At-Tafriq bi Hisab Al-Hind (Penjumlahan dan Pengurangan dalam Kalkulasi Hindu) adalah dua di antara karya-karya Al-Khawarizmi dalam bidang matematika yang sangat penting. Kedua karya tersebut banyak menguraikan tentang persamaan linier dan kuadrat, penghitungan integrasi dan persamaan dengan 800 contoh yang berbeda.

Juga diuraikan  pengertian-pengertian geometris,  rumus-rumus, seperti teorema segitiga sama kaki, perhitungan tinggi serta luas segitiga,  luas jajaran genjang serta lingkaran. Dia juga menyusun daftar logaritma, hitungan desimal, dan tanda-tanda negatif yang sebelumnya tidak dikenal. Dalam Al-Jama Wa At-Tafriq, ia menjelaskan seluk-beluk kegunaan angka-angka, termasuk angka nol dalam kehidupan sehari-hari.

Selain sebagai sarjana ilmu matematika, Al-Khawarizmi juga dikenal sebagai astronom terkemuka. Di bawah perintah Khalifah Al-Ma’mun, sebuah tim astronomi yang dipimpinnya berusaha melakukan pengukuran yang bertujuan mengukur volume dan lingkar bumi. Al-Khawarizmi juga menyusun buku tentang penghitungan waktu berdasarkan bayang-bayang matahari (sundial).

Karya lain dari Al-Khawarizmi adalah geografi yang berjudul Surah Al-Ard (Bentuk Rupa Bumi), salinan karya tersebut kini tersimpan di perpustakaan Universitas Strasbourg, Prancis. Buku ini memuat daftar koordinat beberapa kota penting dan ciri-ciri geografinya. Kitab ini secara tidak langsung mengacu pada buku geografi yang disusun ilmuwan Yunani, Claudius Ptolomeus (100-178). Namun beberapa kesalahan dalam buku tersebut dikoreksi Al-Khawarizmi dalam bukunya Zij as-Sindhind sebelum ia menyusun Kitab Surah Al-Ard.

Hampir sepanjang hidupnya Al-Khawarizmi mengabdikan dirinya sebagai penulis sains dan dosen di sekolah kehormatan di Baghdad. Dengan meninggalkan karya-karya besarnya yang sangat berpengaruh dan bermanfaat, akhirnya ilmuwan terkenal itu wafat pada 850 di Kota Baghdad. (dari berbagai sumber).***




SEBUAH halaman dari Kitab Aljabar Al-Khawarizmi.*

Sunday, 4 July 2010

Mengungkap Fenomena ”Air Terjun Darah”

BUMI menyimpan segudang misteri yang belum terpecahkan,  menjadi daya tarik tersendiri bagi siapapun untuk bisa menyingkap fenomena alam tersebut. Dengan terpecahkannya misteri itu, mungkin saja ada manfaat yang tak ternilai untuk kemaslahatan umat manusia, atau paling tidak terhindar dari hal-hal yang berbau mistik atau tahyul.

Salah satu fenomena alam yang cukup menarik dan baru-baru ini terungkap adalah apa yang disebut dengan ”Air Terjun Darah.” Sebuah nama yang berbau horor untuk sebuah gejala alam.
Fenomena Air Terjun Darah atau “Blood Falls” pertama kali ditemukan pada 1911 oleh ahli geologi asal Australia, Thomas Griffith Taylor, di benua Antartika bagian timur, tepatnya di  West Lake Bonney di lembah Taylor, yang merupakan salah satu rangkaian lembah McMurdo Dry Valleys, Pulau Victoria.

McMurdo Dry Valley merupakan salah satu wilayah paling unik di benua Antartika. Di kawasan yang luas ini selamanya jarang terdapat lapisan es, akibat angin yang bertiup ke arah lembah ini dengan kecepatan 320 km/jam dan mampu menyapu seluruh kelembaban di sana. Di salah satu lembah yang mengambil nama penemunya, lembah Taylor, muncullah gletser Taylor yang berwarna merah darah.

Saat Griffith Taylor menjelajahi lembah itu untuk pertama kalinya, ketika mengikuti penjelajahan ke kutub selatan bersama Robert Scott, ia menemukan noda kemerahan aneh yang tampak seperti air terjun tumpah dari moncong gletser. Penjelajah Antartika itu pada mulanya menyangka deposit kemerahan tersebut  adalah ganggang merah, namun kemudian terbukti itu semacam cairan yang kaya zat besi, ketika muncul ke permukaan dengan cepat terjadi oksidasi menjadi warna merah darah.

Sumber warna merah darah yang muncul ke permukaan tersebut ternyata berasal dari sebuah danau air asin yang terperangkap oleh gletser sedikitnya selama 1,5 juta tahun. Suhu air danau yang tersembunyi ini mencapai -5 derajat Celcius, namun tidak membuat airnya membeku, pasalnya tingkat salinitasnya 3 hingga 4 kali lebih asin dari air samudra. Begitu juga garam-garam besi yang terkandung di dalamnya, secara perlahan melarutkan es yang ada, inilah sumber dari warna merah yang khas tersebut.

**

DANAU yang menjadi sumber Air Terjun Darah juga menyimpan rahasia lain yang tak kalah pentingnya, dan mulai diungkap beberapa tahun lalu oleh para ilmuwan dari Universitas Harvard. Menurut mereka, seperti dimuat dalam jurnal “Science”, sumber gletser karat  ini merupakan rumah bagi ekosistem bakteri kuno, yang terjebak selama jutaan tahun dalam kondisi yang tidak ramah untuk makhluk hidup. Sekitar 17 jenis bakteri yang mereka temukan berbeda dengan yang biasa dikenal selama ini, yaitu  Thiomicrospira arctica.

Tak ada air dari permukaan ataupun cahaya dari matahari menembus es tebal gletser Taylor menuju danau yang terletak 400 meter dari permukaan gletser tersebut. Hampir tak ada oksigen yang terlarut dalam airnya, dari uji radioaktif menunjukkan bahwa hal itu berlangsung sangat lama. Namun, meskipun airnya sangat asin miskin cahaya, oksigen, dan karbon, mikroba yang telah tinggal di sana selama jutaan tahun mampu bertahan hidup dengan memanfaatkan ion sulfat sebagai satu-satunya sumber energi.

Jill Mikucki seorang pakar geomikrobiologi dari Universitas Harvard membutuhkan beberapa tahun untuk mendapatkan sampel air danau yang terisolasi itu. Dari analisis komposisi kimia yang dilakukan Jill dan koleganya, menunjukkan bahwa komunitas bakteri telah menjalani kehidupan yang benar-benar terlindung. Selama jutaan tahun, bakteri tersebut telah terperangkap di bawah gletser tanpa nutrisi yang datang dari dunia luar.

Lalu bagaimana mereka bisa hidup? Ternyata petunjuknya ada dalam air. Air tempat bakteri hidup ini, ternyata sangat kaya akan ion sulfat, yang menjadi sumber makanannya.

Tampaknya penjelasan ini cukup masuk akal untuk kelangsungan hidup bakteri, tetapi tidak sesederhana itu. Bakteri jenis ini biasanya bisa hidup dari ion sulfat (SO4 2-) melalui reaksi kimia yang mengubahnya dulu menjadi ion-ion sulfida (S 2-). Ini biasanya terdeteksi dengan munculnya hidrogen sulfida, tetapi Mikucki tidak dapat menemukan hidrogen sulfida dalam air yang dianalisis. Dan dalam genom bakteri ini pun, dia tidak bisa menemukan jejak kelompok gen yang biasanya mengkatalisis reaksi di atas. Dengan  menganalisis proporsi isotop belerang yang berbeda, dia malah menemukan fakta bahwa tingkat ion sulfat dalam air secara keseluruhan tidak pernah berkurang selama jutaan tahun.

Pada dasarnya, bakteri harus memiliki beberapa cara daur ulang sumber energinya. Begitu juga bakteri yang dipelajari Mikucki memiliki sistem daur ulang yang unik, untuk mengurangi sulfat bakteri-bakteri ini mengubahnya menjadi sulfit (SO3 2-) sebagai gantinya. Ion sulfit ini kemudian bereaksi dengan besi (yang dihasilkan dari gerusan gletser pada batuan), dan dioksidasi kembali menjadi sulfat, dan kembali memasuki daur ulang dari awal. Bakteri melakukan proses ini dengan bantuan enzim khusus yang disebut PAPS (phosphoadenosine-5 2-phosphosulphate-reductase).

Sistem ini mungkin unik, tentu saja karena kehidupan di bawah gletser baru-baru ini terungkap dan dipahami. Namun, menurut Mikucki, kemungkinan ekosistem seperti itu sudah biasa selama periode zaman es, ketika sebagian besar planet ini tertutup es. Dan mungkin juga ada banyak komunitas serupa di tempat lain di bawah gletser planet ini.

Keberadaan tempat yang tidak biasa ini tak pelak menawarkan para ilmuwan sebuah kesempatan yang unik untuk mempelajari kehidupan mikrobial di kedalaman yang kondisinya ekstrem, tanpa perlu melakukan pengeboran, yang berisiko terjadinya kontaminasi karena lingkungan yang rapuh dan masih utuh.

Mempelajari lingkungan ekstrem di Bumi sungguh sangat bermanfaat untuk memahami berbagai kondisi dimana kehidupan bisa beradaptasi, dan untuk menguji kemungkinan adanya kehidupan di tempat lain di tata surya, seperti di planet Mars atau Europa, sebuah bulan Jupiter yang diselimuti lapisan es. Para ilmuwan dari Institut Astrobiology NASA telah berspekulasi bahwa di tempat-tempat seperti itu bisa saja terdapat lingkungan air subglacial, suatu lingkungan yang menguntungkan bagi bentuk-bentuk dasar kehidupan karena terlindung dari radiasi sinar ultra violet dan sinar kosmik. (dari berbagai sumber)***

Foto: Jill  Mikucki